Senin, 01 Februari 2010

Kelemahan Personal Experience

Salah satu hal yang paling saya sesali didunia ini adalah saya kehilangan dua orang murid saya. Saya punya banyak pendengar, tapi saya hanya punya sedikit murid, mereka yang benar-benar dekat dengan kehidupan spiritual sehari-hari, dan intens berkomunikasi dengan saya. Saya pikir mereka amat berbakat, dan mengira mereka akan menjadi hamba Tuhan yang luar biasa.

Sebut saja mereka si A dan si B. Keduanya adalah pelayan Tuhan digereja sejak masa remaja mereka. Ketaatan, kesetiaan, dan komitment mereka tidak diragukan saat itu.

Si A, memberikan seluruh warisan ayahnya kepada gereja setelah ayahnya meninggal, yang mana sangat ditentang keluarganya, tetapi demi menunjukan kecintaannya pada Kristus ia melakukan itu. Pandangan, hikmat dan prinsip hidupnya seringkali membuat saya kagum, seakan-akan semua hikmat itu dia dapatkan fresh from heaven (i never heard of it before).

Si B, memiliki karunia supranaturalis. Ia sering mendapat petunjuk dalam mimpi, dan saat ia melakukan seperti yang dikatakan mimpinya, hal itu tepat benar. Ia sering menyaksikan perjumpaannya dengan Kristus. Ia memperjuangkan sendirian dibangunnya persekutuan doa di kampusnya dari nol, hingga persekutan itu menjadi besar dan menjadi berkat bagi para adik kelasnya dari generasi ke generasi.

Dan anda tahu apa yang terjadi pada mereka berdua hari ini?

Si A, kini menjadi New Age/Atheis yang radikal,
dan Si B kini pindah agama ke kepercayaan seberang, status facebooknya penuh dengan pemujaan terhadap Tuhannya yang baru.
Sungguh ironis....

Apa yang salah?

Mereka memang putus hubungan dengan komunitas orang percaya, dan tenggelam dalam karir pekerjaannya. Tapi saya rasa ada yang lebih dari itu...

Mereka merasa kuat dengan personal experience with God, dan justru hal itu yang membuat mereka hilang arah. Tidak ada yang salah dengan personal experience, tapi saat memprioritaskan hal itu, itu yang membuat kita hilang arah.

Pertama karena personal experience adalah sesuatu yang abstrak, semua terjadi didalam pikiran. Perbedaannya tipis sekali antara suara Tuhan, suara hati, Personal Experience, dan imaginasi. Sedikit sekali orang yang bisa membedakannya.

Kedua, dalam hidup spiritual kita, kita memiliki dua arah. Ada yang membangun hubungan keatas, untuk lebih dekat dengan Tuhan, melalui doa, pujian, penyembahan, dan pengalaman-pengalaman spiritual.

Dan ada yang membangun hubungan kebawah, menuju dasar dan akar iman. Dengan cara menekuni dan mempelajari firman Tuhan melalui pendalaman Alkitab, dan juga referensi buku-buku tambahan, baik yang bersifat rohani ataupun theologis.

Seperti sebuah tiang bendera, saat seseorang terlalu membangun hubungan keatas tanpa menyeimbangkan dengan pertumbuhan kebawah, suatu saat dia akan jatuh karena dasar penahannya tidak kuat. Sama juga kalau orang terlalu membangun kebawah dengan pendalaman, hidupnya akan kosong dengan iman yang kerdil, ia kuat tapi tidak menghasilkan apa-apa.

Yang terbaik adalah membangun keduanya dengan komposisi yang seimbang, contoh untuk sebuah komposisi tiang yang kuat, kira-kira 1/4 tiang itu masuk kebawah menjadi dasar pijakan dan pegangan.

Jadi bangunlah Personal Experience dengan Tuhan, dengan cara yang benar. Naikan doa pujian dan penyembahanmu, carilah karunia-karunia rohanimu. Tapi jangan lupa, perdalam Firman dengan Alkitabmu, tambahkan sedikit buku-buku rohani dan theologis yang benar.

sumber : http://luki.co.nr/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar