Jumat, 11 September 2009

KAYA DAN MISKIN ADANYA HANYA DALAM FIKIRAN ANDA DAN SAYA

KAYA DAN MISKIN ADANYA HANYA DALAM FIKIRAN ANDA DAN SAYA

Aku tak kan pernah melupakan Paskah tahun 1946.
Usiaku empat belas tahun, adik perempuanku, Ocy, baru dua belas tahun sedangkan kakak perempuanku, Darlene, enam belas tahun.
Kami tinggal di rumah bersama ibu kami, dan kami berempat tahu apa yang harus kami perbuat tanpa seorang ayah.
Ayahku telah meninggal lima tahun sebelumnya, meninggalkan Ibu tanpa uang dan tujuh orang anak usia sekolah yang masih harus dibesarkan.

Pada tahun 1946, kakak perempuanku menikah dan kakak-kakak lelaki ku meninggalkan rumah. Satu bulan sebelum perayaan Paskah, Pastor di Gereja kami mengumumkan bahwa kami akan menyelenggarakan sebuah acara khusus untuk membantu keluarga-keluarga miskin. Ia meminta kepada setiap orang untuk menabung dan berderma.

Sepulang ke rumah, kami berbincang-bincang tentang apa yang dapat kami perbuat. Kami memutuskan membeli dua puluh lima kilogram kentang dan mencukupkan diri dengan kentang sekian untuk sebulan. Ini akan memungkinkan kami menabung dua puluh dolar jatah belanja kami untuk kami dermakan.

Kemudian terpirkir lagi oleh kami bahwa jika kami menggunakan lampu penerangan seperlunya saja dan tidak mendengarkan radio, kami dapat menabung dari penghematan listrik bulan itu. Darlene mengambil sebanyak mungkin pekerjaan membersihkan rumah dan halaman tetangga, dan kami berdua menjadi pengasuh bayi bagi siapa pun yang bersedia. Dengan lima belas sen kami dapat membeli kain perca yang cukup untuk membuat tiga buah bantalan untuk memegang panci panas, yang sebuahnya kami jual seharga satu dolar. Kami
mendapatkan dua puluh dolar dari menjual bantalan pemegang panci ini. Bulan itu merupakan salah satu bulan terbaik dalam hidup kami.

Setiap hari kami menghitung uang kami untuk mengetahui berapa banyak yang telah kami tabung. Pada malam hari kami duduk-duduk dalam kegelapan dan berbincang tentang bagaimana keluarga-keluarga miskin itu akan menikmati uang yang akan diberikan oleh gereja kepada mereka. Menurut perkiraan kami ada delapan puluh orang miskin di gereja kami, maka kami membayangkan bahwa berapa pun besar uang yang harus kami sediakan, sumbangan ini pasti akan bernilai dua puluh kali lebih besar. Bagaimanapun, setiap hari Minggu Pastor mengingatkan semua orang untuk menabung dan memberikan tabungan itu sebagai derma.

Pada malam sebelum perayaan Paskah, kami begitu bersemangat sehingga kami hampir tidak dapat tidur. Kami tidak peduli bahwa kami tidak akan memiliki baju baru untuk Paskah; kami berhasil mengumpulkan tujuh puluh dolar untuk didermakan. Kami tidak sabar untuk segera berangkat ke gereja!

Pada hari minggu pagi itu, hujan turun dengan deras sekali. Kami tidak mempunyai payung, padahal gereja kami lebih dari dua kilometer jauhnya dari rumah kami, tetapi kami tidak peduli bahwa kami akan basah kuyup. Darlene telah melekatkan sehelai karton pada sepatunya, maksudnya untuk penutup lubang pada solnya. Karena hujan, karton itu basah, sehingga sepatunya berlubang lagi dan kakinya menjadi basah juga.

Akan tetapi kami hadir di gereja dengan bangga. Kami mendengar beberapa teman sebaya kami membicarakan baju kami yang telah lusuh. Aku memandangi mereka yang berpakaian baru itu, tetapi aku justru merasa kaya.

Ketika acara persembahan dimulai, kami duduk di baris kedua dari depan. Ibu memasukkan lembaran sepuluh dolar ke dalam kantong persembahan, dan kami masing-masing memasukkan lembaran uang dua puluh dolar.

Kami bernyanyi-nyanyi di sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Saat santap siang, Ibu memberikan sebuah kejutan kepada kami. Ia telah membeli selusin telur, sehingga kami merebus telur-telur itu menjadi telur Paskah untuk menemani kentang goreng kami!

Menjelang petang hari, pastor menghentikan mobilnya di depan rumah kami. Ibu menyambutnya di pintu, mengobrol dengannya beberapa lama, kemudian kembali dengan sebuah amplop di tangannya.
Kami menanyakan isi amplop itu, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia membukanya dan di dalamnya ternyata ada sejumlah uang. Ada tiga lembaran dua puluh dolar, satu lembaran sepuluh dolar dan tujuh belas lembaran satu dolar.

Ibu memasukkan kembali uang itu ke dalam amplop. Kami tidak bicara, hanya duduk sambil menatap lantai. Dari merasa seperti orang kaya kami berubah menjadi seperti orang miskin. Kami, anak-anak, hidup begitu bahagia sehingga kami merasa kasihan kepada siapa pun yang tidak mempunyai ibu seperti Ibu dan tidak mempunyai ayah seperti mendiang ayah kami, juga tidak mempunyai banyak saudara yang masing-masing mempunyai teman banyak.

Perlengkapan makan kami sedikit, tetapi kami merasa lucu bila pada saat santap kami hanya memegang sebatang garpu atau sebatang sendok. Kami hanya mempunyai dua bilah pisau meja, sehingga kami menggunakan pisau itu secara bergiliran, tetapi kami senang. Kami tahu kami tidak memiliki banyak barang yang ada pada kebanyakan orang lain, tetapi kami belum pernah merasa miskin.

Pada hari Paskah tahun itu kami baru sadar bahwa kami miskin. Pastor telah mengantarkan kepada kami uang bagi keluarga-keluarga miskin, jadi pastilah kami termasuk orang miskin, kata ku dalam hati. Aku tidak senang menjadi orang miskin. Aku memperhatikan baju kumal dan sepatu butut ku dan tiba-tiba aku merasa malu sekali - aku bahkan tidak ingin ke gereja lagi. Setiap orang di sana berangkali sudah tahu bahwa kami orang miskin!

Aku berpikir tentang sekolah. Aku sudah duduk di kelas sembilan dan prestasi ku tertinggi di kelas ku dengan murid lebih dari seratus orang. Aku ingin tahu apakah anak-anak di sekolah sudah tahu bahwa kami miskin. Aku memutuskan berhenti sekolah karena aku sudah menyelesaikan kelas delapan.
Bukankah itu batas minimal wajib belajar dari pemerintah pada waktu itu?

Kami duduk diam lama sekali. Kemudian hari menjadi gelap, maka kami berangkat tidur. Selama sepekan itu, kami anak-anak perempuan berangkat ke sekolah dan pulang, dan tak seorang pun bicara banyak. Akhirnya, pada hari Sabtu, Ibu bertanya tentang apa yang ingin kami perbuat dengan uang itu.

Apa yang biasa diperbuat oleh orang miskin bila memperoleh sumbangan?
Kami tidak tahu. Kami baru saja tahu bahwa kami miskin. Kami enggan pergi ke Gereja pada Hari Minggu, tetapi Ibu mengatakan bahwa itu harus. Walaupun hari sangat cerah, kami tidak bicara banyak. Ibu mulai bernyanyi, tetapi tidak seorang pun dari kami bergabung, maka ia hanya menyanyi satu bait.

Di Gereja ada seorang pembicara tamu. Ia bercerita tentang bagaimana jemaatnya di Afrika telah membuat rumah ibadat dari bata yang dibuat sendiri dengan cara dijemur, tetapi mereka memerlukan uang untuk membeli atap. Katanya, seratus dolar sudah cukup untuk mengatapi rumah ibadat itu. Pastor menambahkan, 'Tidak dapatkah kita semua berkorban untuk membantu orang-orang miskin itu?'.
Kami saling berpandangan dan tersenyum untuk pertama kalinya pekan itu.

Ibu merogoh dompetnya dan mengeluarkan amplop tersebut. Ia memberikannya kepada Darlene. Darlene memberikannya kepada ku, dan aku memberikannya lagi kepada Ocy. Ocy membawa amplop itu ke kotak derma.

Ketika uang yang terkumpul dihitung, Pastor tamu itu mengumumkan bahwa jumlahnya sedikit lebih dari seratus dolar. Ia senang sekali. Ia senang sekali. Ia tidak menduga akan mendapatkan sebanyak itu dari sebuah gereja yang jemaatnya tidak banyak.
Ia berkata, 'Di antara Anda pastilah ada yang cukup kaya.'
Tiba-tiba pernyataan itu menyentak!
Kami telah menyumbangkan delapan puluh tujuh dolar dari uang yang seluruhnya hanya 'seratus dolar lebih sedikit.'

Kamilah orang kaya di gereja kami!
Bukankah Pastor tamu itu telah berkata demikian?

Sejak hari itu, aku tidak pernah merasa miskin lagi.
(Eddie Ogan - Chicken Soup for the Golden Soul)

We make a living by what we get and make a life by what we give

salam kasih hangat & persahabatan untuk Anda,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar