Selasa, 28 April 2009

HIDUP BAGI TUHAN

2 Korintus 5:13-21
Oleh: Saumiman Saud

“Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. (ay. 15)”

Salah satu alasan yang sangat akurat mengapa Kristus sengaja datang ke dunia dan mati untuk kita adalah , supaya kita yang hidup ini tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri lagi, tetapi justru hidup kita adalah untuk Dia yang telah mati dan dibangkitkan itu. Sejak umat manusia jatuh ke dalam dosa, keegoisan begitu menguasai kehidupan ini, sehingga apa pun yang kita kerjakan, selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang menguntungkan diri sendiri. Termasuk juga yang berhubungan dengan apa yang kita kerjakan buat Tuhan kita.. Jika mendatangkan keuntungan maka kita akan mengerjakannya, namun kalau itu adalah proyek rugi silahkan tunggu dulu. Makanya jangan heran bila pekerjaan misi, apalagi itu mengharuskan seseorang masuk ke daerah terpencil atau bahaya; sangat jarang yang berani mengambil komitmen. Jikalau hanya sekadar perjalanan singkat masih okey, sebab kegiatan itu dianggap hanya sekadar rekreasi atau sedikit mencari pengalaman.

Konsekuensi hidup bagi Tuhan itu merupakan keharusan bagi orang percaya. Dan jika seorang anak Tuhan mau taat, ia harus mengalamai perubahan. Apa saja yang perlu diubah?

1. Perobahan Pemikiran

Rasul Paulus mengatakan dalam ayat 16 “Kami tidak lagi menilai seseorang jugapun menurut ukuran manusia” Selanjutnya “Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak menilainya demikian”

Pemikiran Paulus berubah total, tatkala di dalam pengalaman dirinya telah merasakan Kristus itu hidup. Bayangkan saja, tadinya hatinya menggebu-gebu untuk menghancurkan para pengikut Kristus. Paulus itu bukan orang sembarangan, sebagai seorang Farisi, ahli Taurat, gurunya adalah guru besar Gamaliel. Dalam Kisah Para Rasul 22:3 "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini.

Siapa Gamaliel itu? Kisah Para Rasul 5:34 mencatat “Gamaliel seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak” Nah, orang yang ahli seperti Paulus ini pun dapat salah menilai, khususnya penilaiannya kepada Kristus.

Kadang di dalam kehidupan kita terdapat hal-hal yang demikian juga. Kita telah memprediksi seseorang terlebih dahulu, padahal kita belum menilainya. Oleh sebab itu, menurut Steven Covey dalam bukunya 7 Kebiasaan Yang Paling Efektif mencatat bahwa paradigma kita harus berubah, Ia mengisahkan dalam perjalanan pulang melalui sebuah kereta api. Dua anak bersama ayahnya kedua anak ini selalu main-main, kadang-kadang mendekat ke arah Steven. Makin lama lama menarik-narik korannya. Steven merasa jengkel, mengapa sang ayah diam aja. Akhirnya dia tidak sabar lagi, Steven berdiri mendekat ke arah ayah anak itu dan berkata. Apakah kamu tidak melihat tingkah laku anakmu itu? Sang ayah hanya menatap hampa ke arah Steven, lalu berkata dengan nada rendah maafkan saya, saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa? Dua jam lalu, kami mendapat interlokal, bahwa isteri yakni ibu dari kedua anakku ini meninggal dalam sebuah kecelakaan, saat ini kami menuju ke sana untuk
mengurus jenazahnya. Ketika Steven mendengar itu langsung berubah konsep pikirannya. Ketika anak-anak itu menggangu dia baca Koran, ia membiarkan saja; ia telah menyelami perasaan mereka.

Bagaimana dengan kita? Terlalu sering kita menilai orang lain dengan nilai sumbang? Apalagi orang tersebut pernah merugikan kita? Terlebih-lebih pernah menyakiti kita. Seakan-akan bagi kita orang itu tidak pernah ada benarnya lagi? Pada waktu kita masih berteman, orangnya kita puji, namun sekarang ada perselisihan, ada salah paham, kita membencinya, kadang juga mencemoohnya habis-habisan. Saya pikir sudah saatnya kita mengubah pemikiran ini, jika benar-benar kita mengaku Yesus telah mati untuk kita. Namun apabila Yesus memang belum mati untuk kita maka tidak heran kalau kita tetap berbuat demikian.

2. Perobahan Diri

Kita lanjutkan pada ayat 17, “jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” Perubahan diri di sini saya sinonimkan dengan ciptaan baru. Kita semua suka yang baru, tahun baru, baju baru, rumah baru, mobil baru. Semua yang baru. Sejorok-joroknya kita, kalau anda yang baca tidak mau diikut sertakan maka saya ulangi kalimat ini, sejorok-joroknya saya, maka saya pasti pingin kalau diri saya bersih, termasuk rumah dan mobil baru itu.

Beberapa minggu lalu saya sempat ngobrol-ngobrol dengan seorang kawan, dalam pembicaraan itu kira-kira demikian. Saya katakan padanya, saya mau ganti mobil nich, lalu dia katakan, ganti dong. Kemuadian dia menyelutuk, masak pendeta besar (baca: tubunya besar) mobilnya butut? Wah, hampir sakit hati saya, tetapi tidak jadi. Saya ingat bahwa hidup ini bukan untuk diriku lagi, ayat 16. Saya hanya jawab begini, saya udah siap ganti mobil, cuma uanngnya saja yang belum siap. Ceritanya belum habis, saya lanjutin lagi ngobrol tentang masalah mobil. Kawan yang lain bilang, kalau punya uang pun, jika mau beli mobil, tetap saya tidak mau beli yang baru? Loh kenapa, saya bertanya? Dia katakan, kalau beli mobil baru, akan tambah beban saja, pertama biaya perawatan mahal, asuransi mahal, pajak mahal, sudah itu jika menyetir tidak dapat santai dan tidak nyaman, harus super hati-hati. Kena senggol sedikit, maka sakit hati sekali. Lalu anak-anak juga sering menjadi
jadi korban kemarahan. Sedikit makanan tumpah atau minuman, kita juga menjadi emosi. Mobil baru saja kita jaga dengan super ketat. Lalu saya coba bandingkan berpikir benar juga, kita ini adalah ciptaan baru maka seharusnya kita berusaha menjaganya dengan lebih baik. Tidak lagi mengotori, dan ada perubahan yang nyata.

3. Perobahan Status

Apabila ada perselisihan, maka kehidupan kita sedikit banyak akan terganggu.. Konsentrasi kita akan bercabang, hati kita galau, pikiran menjadi tidak menentu. Saat-saat yang paling sulit dalam hidup ini adalah tatkala masalah itu datang menyerang dan bertubi-tubi. Kehidupan Paulus itu demikian, sebelum ia bertemu dengan Tuhan Yesus hatinya menggebu-gebu penuh dendam keinginannya hanya menghancurkan, membunuh dan membasmi. Itu sebabnya ia tidak merasa bersalah walaupun menyaksikan orang-orang melempari Stefanus, hingga mati. Meskipun ia tidak ikut melemparinya namun ia memiliki perasaan yang sama dengan orang-orang yang menganiaya Stefanus dan setuju bahwa Stefanus harus dihukum mati.

Kehidupan yang kacau demikian pasti akan berlangsung terus-menerus jika Paulus itu tidak bertemu Yesus. Makanya walaupun ia harus buta selama 3 hari, namun pertemuannya dengan Yesus membawa suatu kedamaian. Kedamaian yang nyata, mengapa? Karena Tuhan Yesus memang telah memperdamaikan Paulus dan kita dengan Tuhan di atas kayu salib. Tadinya tatkala kita dikuasai dosa, kita adalah seteru Yesus, namun saat ini ketika kita mengalami kasih Tuhan maka kita telah diperdamaikan. Nah kepada orang-orang yang telah diperdamaikan itu mereka dipercayakan menyampaikan berita perdamaian. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita kerjakan tugas yang mulia ini?

Memang ada orang mengeluh, mereka berkata bahwa hidupnya susah berubah. Maka doanya agar Tuhan jangan menuntutnya berobah secepatnya. Orang tersebut datang kepada seorang Profesor. Drummond sang professor itu bercerita bahwa seseorang yang datang dan berkata ingin menjadi orang Kristen.

"Itu bagus kawan, tetapi ada masalah apa?” Ia tampak ragu-ragu tetapi akhirnya ia berkata, ”Saya telah menggelapkan uang perusahaan.” “Berarti Anda telah mencuri. Berapa banyak?” “Saya lupa.” ”Apakah 1500 dolar?” “Ya saya kira sejumlah itu.” ”Sekarang begini kawan. Saya tidak yakin sesuatu bisa berubah dengan sekejap. Berjanjilah untuk tidak mengambil lebih dari 1000 dolar tahun ini, dan tahun depan jangan mengambil lebih dari 500 dolar. Dan setelah beberapa tahun Anda tidak mencuri satu sen pun. Bila ketahuan oleh majikan Anda katakan Anda sedang dalam proses menjadi Kristen, dan secara bertahap sedang membiasakan diri tidak mencuri.”

Oh, itu suatu penyesatan yang sempurna. Alkitab mengatakan, “Barang siapa yang mencuri, jangan mencuri lagi.” Ini cukup jelas. Ambil contoh yang lain. Datanglah seseorang yang mengakui bahwa ia mabuk dan memukul isterinya setiap minggu dan ia ingin menjadi Kristen. Akankah saya menasehatkan, ”Jangan terburu-buru. Saya percaya segala sesuatu berjalan secara bertahap. Mulai sekarang janganlah mabuk dan memukul isteri Anda lebih dari sebulan sekali.” Sekali setiap bulan, berarti dua belas kali setiap tahun. Apakah isteri orang itu cukup bergembira bila suaminya berubah menjadi Kristen dengan cara itu? Perubahan itu harus segera, saat ini juga.

Kehidupan orang Kristen yang sejati bukan diukur dari seberapa kita berani mati, kalau tuntutan dunia sering demikian. Jika mau mati bagi Kristus sangat gampang, datang saja ke Negara komunis, lalu kabarkan Yesus secara terang-terangan, maka anda segera ditangkap dan dibunuh. Itu namanya mati, tapi mati konyol. Justru orang Kristen dituntut untuk berani hidup. Hidup itu penuh tantangan, itu sebabnya orang-orang yang Hidup bagi Kristus tantangannya lebih besar. Jadi jangan kita berpikir bahwa untuk hidup bagi Tuhan itu sangat gampang. Memang pada saat pertama kita mendengar para pendeta sering berkata, percaya kepada Tuhan Yesus, maka engkau selamat. Hal ini tidak salah, tetapi itu merupakan orang percaya play-group. Orang percaya yang sejati tentu merindukan kenaikan kelas, percaya Tuhan Yesus mendapatkan keselamatan ditambah rajin beribadah, rajin melayani, suka mengampuni, suka mengasihi, giat mengabarkan Injil, rindu mendukung pekerjaan Tuhan, ikut
terlibat dalam pelayanan, dan seterusnya. Permisi tanya, saat ini anda berada pada posisi yang mana? Sebelum ada perubahan yang total itu, jangan sekali-kali berani berkata bahwa kita sudah Hidup Bagi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar